Indonesia sungguh kaya baik alamnya maupun budayanya. Di Indonesia terdapat ribuan suku bangsa yang mendiami sepanjang wilayah kepulauan negara ini. Setiap suku bangsa memiliki unsur kebudayaan mulai dari bahasa, upacara adat, tari tradisional, makanan, rumah adat, dan unsur lain yang berbeda dengan suku lainnya. Bentuk kearifan lokal ini merupakan harta yang sangat berharga bagi Indonesia.
Rumah Adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat. Keberadaan rumah adat di Indonesia sangat beragam dan mempunyai arti yang penting dalam perspektif sejarah, warisan, dan kemajuan masyarakat dalam sebuah peradaban Sistem Ekonomi Indonesia.
Rumah Adat Nangroe Aceh Darussalam
Jika di Bali hampir semua rumah mempunyai ornamen ukiran yang terdapat dalam rumah adat tersebut, tidak semua rumah adat Aceh memiliki ukiran, dan kalaupun rumah-rumah tersebut memiliki ukiran bentuknya tidak sama. Hal ini bergantung pada kemampuan ekonomi si empunya rumah. Jika pemilik rumah mempunyai kemampuan ekonomi yang di atas rata-rata, biasanya mereka akan memiliki rumah dengan ukir-ukiran yang bagus dan mewah. Begitu juga sebaliknya, bagi orang yang mempunyai kemampuan ekonomi pas-pas an atau rata-rata, maka tidak terdapat begitu banyak ukir-ukiran di rumahnya.
Menurut keterangan banyak warga Aceh, jumlah rumah adat Aceh yang ada di Aceh saat ini menurun drastis. Kebanyakan warga Aceh lebih memilih untuk tinggal di rumah modern. Hal tersebut dikarenakan banyak warga merasa rumah Krong Bade membutuhkan dana yang tidak sedikit dalam pembangunannya, juga butuh banyak tenaga untuk proses perawatannya. Fenomena ini sudah berlangsung sejak 30 tahun hingga sekarang. Hungga tahun 1980, orang-orang Aceh masih bisa mendapatkan kayu sebaga material utama dalam membangun Krong Bade. Sekarang, orang-orang lebih memilih membangun rumah modern karena jumlah biaya yang digunakan separuh dari uang yang dikeluarkan untuk Krong Bade.
Pada jaman dahulu kala, rumah adat Aceh atapnya terbuat dari daun rumbia. Jadi jika ada kasus kebakaran, pemilik rumah bisa langsung memotong bagian daun yang terbakar, tanpa kesulitan. Dan di depan rumah biasanya terdapat guci atau gentong tempat menyimpan air. Gentong air ini digunakan untuk menyimpan air untuk cuci kaki/membersihkan kaki jika seseorang ingin memasuki rumah. Karena letak rumah ini beberapa cm di atas tanah, maka rumah ini membutuhkan tangga bagi orang-orang yang ingin memasuki rumah; dan jumlah anak tangga biasanya ganjil.
Krong Bade atau Rumoh Aceh adalah rumah adat yang unik, yang mempunya kekhasan seperti kebanyakan rumah adat di Indonesia. Rumah dengan arsitektur klasik dan terbuat dari kayu dan dipercantik dengan ukir-ukiran ini ternyata tidak terlalu diminat lagi oleh penduduk Aceh yang sudah tersentuh arus modernitas. Hal ini dikarenakan dalam membangun rumah ini dibutuhkan banyak sekali biaya dan tenaga dalam pemeliharaannya. Rumah adat Aceh merupakan jenis rumah yang membutuhkan perawatan dan kemampuan ekonomi ekstra dalam proses pembuatannya, karena materi dasar pembuatannya adalah kayu dan saat ini sudah agak sulit bagi masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mendapatkan kayu.
Rumah Adat Sumatra Utara
Rumah adat Sumatera Utara ini dibagi ke dalam dua bagian besar yang terdiri atas dua bangunan yang berdekatan, yakni ruma atau tempat tinggal dan sopo atau lumbung padi. Di antara kedua bangunan ini biasanya ada pelataran yang digunakan sebagai ruang terbuka untuk kegiatan warga. Jika kita melongok ke atas rumah adat Si Baganding Tua, maka kita tak akan menjumpai sekat-sekat selayaknya rumah. Hunian ini hanya terdiri atas satu ruangan terbuka yang digunakan untuk kegiatan apapun. Dahulu, rumah adat batak dengan ukuran yang besar (dikenal juga dengan nama Bolon) bisa menamoung 2 sampai 6 keluarga.
Rumah Adat Sumatera Utara ini hakekatnya merupakan warisan suku Batak. Suku Batak yang ada di Sumatera Utara ini sendiri dibagi ke dalam 6 puak antara lain Karo, Mandailing, Pakpak, dan lain-lain. Ternyata masing-masing puak ini memiliki kekhasannya sendiri terkait hunian. Misalnya saja rumah adat Batak Karo yang terlihat lebih besar dan tinggi dibandingkan rumah adat suku Batak lainnya. Selain itu, atapnya juga khas sebab terbuat dari ijuk dan dilaoisi dengan tersek. Dengan lapisan yang banyak ini, rumah adat Batak Karo terlihat lebih berbeda dari rumah adat Sumatera Utara lainnya. Meskipun secara keseluruhan bisa dikatakan sama meski tidak persis.
Menurut keterangan banyak warga Aceh, jumlah rumah adat Aceh yang ada di Aceh saat ini menurun drastis. Kebanyakan warga Aceh lebih memilih untuk tinggal di rumah modern. Hal tersebut dikarenakan banyak warga merasa rumah Krong Bade membutuhkan dana yang tidak sedikit dalam pembangunannya, juga butuh banyak tenaga untuk proses perawatannya. Fenomena ini sudah berlangsung sejak 30 tahun hingga sekarang. Hungga tahun 1980, orang-orang Aceh masih bisa mendapatkan kayu sebaga material utama dalam membangun Krong Bade. Sekarang, orang-orang lebih memilih membangun rumah modern karena jumlah biaya yang digunakan separuh dari uang yang dikeluarkan untuk Krong Bade.
Pada jaman dahulu kala, rumah adat Aceh atapnya terbuat dari daun rumbia. Jadi jika ada kasus kebakaran, pemilik rumah bisa langsung memotong bagian daun yang terbakar, tanpa kesulitan. Dan di depan rumah biasanya terdapat guci atau gentong tempat menyimpan air. Gentong air ini digunakan untuk menyimpan air untuk cuci kaki/membersihkan kaki jika seseorang ingin memasuki rumah. Karena letak rumah ini beberapa cm di atas tanah, maka rumah ini membutuhkan tangga bagi orang-orang yang ingin memasuki rumah; dan jumlah anak tangga biasanya ganjil.
Krong Bade atau Rumoh Aceh adalah rumah adat yang unik, yang mempunya kekhasan seperti kebanyakan rumah adat di Indonesia. Rumah dengan arsitektur klasik dan terbuat dari kayu dan dipercantik dengan ukir-ukiran ini ternyata tidak terlalu diminat lagi oleh penduduk Aceh yang sudah tersentuh arus modernitas. Hal ini dikarenakan dalam membangun rumah ini dibutuhkan banyak sekali biaya dan tenaga dalam pemeliharaannya. Rumah adat Aceh merupakan jenis rumah yang membutuhkan perawatan dan kemampuan ekonomi ekstra dalam proses pembuatannya, karena materi dasar pembuatannya adalah kayu dan saat ini sudah agak sulit bagi masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mendapatkan kayu.
Rumah Adat Sumatra Utara
Rumah adat Sumatera Utara ini dibagi ke dalam dua bagian besar yang terdiri atas dua bangunan yang berdekatan, yakni ruma atau tempat tinggal dan sopo atau lumbung padi. Di antara kedua bangunan ini biasanya ada pelataran yang digunakan sebagai ruang terbuka untuk kegiatan warga. Jika kita melongok ke atas rumah adat Si Baganding Tua, maka kita tak akan menjumpai sekat-sekat selayaknya rumah. Hunian ini hanya terdiri atas satu ruangan terbuka yang digunakan untuk kegiatan apapun. Dahulu, rumah adat batak dengan ukuran yang besar (dikenal juga dengan nama Bolon) bisa menamoung 2 sampai 6 keluarga.
Rumah Adat Sumatera Utara ini hakekatnya merupakan warisan suku Batak. Suku Batak yang ada di Sumatera Utara ini sendiri dibagi ke dalam 6 puak antara lain Karo, Mandailing, Pakpak, dan lain-lain. Ternyata masing-masing puak ini memiliki kekhasannya sendiri terkait hunian. Misalnya saja rumah adat Batak Karo yang terlihat lebih besar dan tinggi dibandingkan rumah adat suku Batak lainnya. Selain itu, atapnya juga khas sebab terbuat dari ijuk dan dilaoisi dengan tersek. Dengan lapisan yang banyak ini, rumah adat Batak Karo terlihat lebih berbeda dari rumah adat Sumatera Utara lainnya. Meskipun secara keseluruhan bisa dikatakan sama meski tidak persis.
Rumah Adat Sumatera Barat
- Fungsi utama rumah Gadang adalah sebagai tempat tinggal bersama keluarga. Namun berbeda dengan rumah lainnya, si Gadang ini memiliki ketentuan tersendiri, antara lain:
- Jumlah kamar yang ada di dalam rumah Gadang bergantung pada jumlah perempuan yang ada di dalam keluarga tersebut. Semua perempuan yang memiliki suami mendapatkan satu kamar. Dapun perempuan tua tanpa suami akan diberi kamar yang letaknya berada di dekat dapur. Kamar tersebut umumnya ditempati oleh anak-anak kecil. Sementara itu, bagi gadis remaja biasanya digabung dalam satu ruangan dan letaknya di ujung rumah yang terpisah.
- Ruang di dalam rumah Gadang selalu berjumlah ganjil, antara tiga dan sebelas.
- Rumah adat Sumatera utara ini didirikan di atas tanah milik bersama keluarga induk dalam sebuah kaum. Ia juga diturunkan dari generasi yang satu ke generasi lainnya. Pemegang warisnya adalah perempuan di keluarga tersebut
- Selain kamar tidur, semua ruangan yang ada di dalam badan rumah bersifat publik.
- Di halaman rumah Gadang, umumnya terdapat dua bangunan yang disebut dengan nama Rangkiang. Bangunan ini merupakan tempat menyimpan padi.
- Pada rumah gadang terdapat bangunan yang ada pada sayap kiri pun kanan rumah. Bangunan tersebut dikenal dengan nama anjuang atau anjungan. Fungsinya adalah sebagai tempat untuk pengantin bersanding serta pengobatan. Alasan inilah yang membuat rumah Gadang juga dikenal dengan nama rumah Baanjuang.
- Selain Rangkiang, tak jauh dari rumah gadang juga biasanya dibangun surau kecil tempat semua anggota keluarga melaksanakan kegiatan beribadah, pendidikan, juga lazim dijadikan tempat tidur laki-laki yang belum memiliki istri.
- Rumah adat Sumatera Barat ini memiliki dinding yang juga tak kalah menariknya dari atapnya. Dinding ini diukir penuh dengan sedikit membubuhkan warna seperti merah, hijau, juga terkadang oranye. Keseluruhan elemen pada bangunan membuat siapapun yang memandang pasti akan takjub, termasuk Anda.
Balai salaso jatuh adalah bangunan seperti rumah adat tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat. Sesuai dengan fungsinya bangunan ini mempunyai macam-macam nama antara lain : Balairung Sari, Balai Penobatan, Balai Kerapatan dan lain-lain. Bangunan tersebut kini tidak ada lagi, didesa-desa tempat musyawarah dilakukan di rumah Penghulu, sedangkan yang menyangklut keagamaan dilakukan di masjid.
Ciri - ciri Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan terutama berupa ukiran.
Puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan biasanya hiasan ini diberi ukiran yang disebut Salembayung atau Sulobuyung yang mengandung makna pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ciri - ciri Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan terutama berupa ukiran.
Puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan biasanya hiasan ini diberi ukiran yang disebut Salembayung atau Sulobuyung yang mengandung makna pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Rumah Adat Jambi
Rumah tinggal orang Batin disebut Kajang Lako atau Rumah Lamo. Bentuk bubungan Rumah Lamo seperti perahu dengan ujung bubungan bagian atas melengkung ke atas. Tipologi rumah lamo berbentuk bangsal, empat persegi panjang dengan ukuran panjang 12 m dan lebar 9 m. Bentuk empat persegi panjang tersebut dimaksudkan untuk mempermudah penyusunan ruangan yang disesuaikan dengan fungsinya, dan dipengaruhi pula oleh hukum Islam.
Sebagai suatu bangunan tempat tinggal, rumah lamo terdiri dari beberapa bagian, yaitu bubungan/atap, kasau bentuk, dinding, pintu/jendela, tiang, lantai, tebar layar, penteh, pelamban, dan tangga.
Bubungan/atap biasa juga disebut dengan ‘gajah mabuk,’ diambil dari nama pembuat rumah yang kala itu sedang mabuk cinta tetapi tidak mendapat restu dari orang tuanya. Bentuk bubungan disebut juga lipat kajang, atau potong jerambah. Atap dibuat dari mengkuang atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat dua. Dari samping, atap rumah lamo kelihatan berbentuk segi tiga. Bentuk atap seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah turunnya air bila hari hujan, mempermudah sirkulasi udara, dan menyimpan barang.
Kasau Bentuk adalah atap yang berada di ujung atas sebelah atas. Kasau bentuk berada di depan dan belakang rumah, bentuknya miring, berfungsi untuk mencegah air masuk bila hujan. Kasou bentuk dibuat sepanjang 60 cm dan selebar bubungan.
Dinding/masinding rumah lamo dibuat dari papan, sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang. Pintu tegak berada di ujung sebelah kiri bangunan, berfungsi sebagai pintu masuk. Pintu tegak dibuat rendah sehingga setiap orang yang masuk ke rumah harus menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada si empunya rumah. Pintu masinding berfungsi sebagai jendela, terletak di ruang tamu. Pintu ini dapat digunakan untuk melihat ke bawah, sebagai ventilasi terutama pada waktu berlangsung upacara adat, dan untuk mempermudah orang yang ada di bawah untuk mengetahui apakah upacara adat sudah dimulai atau belum. Pintu balik melintang adalah jendela terdapat pada tiang balik melintang. Pintu itu digunakan oleh pemuka-pemuka adat, alim ulama, ninik mamak, dan cerdik pandai.
Adapun jumlah tiang rumah lamo adalah 30 terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam, dengan panjang masing-masing 4,25 m. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang kerangka bangunan.
Lantai rumah adat dusun Lamo di Rantau Panjang, Jambi, dibuat bartingkat. Tingkatan pertama disebut lantai utama, yaitu lantai yang terdapat di ruang balik melintang. Dalam upacara adat, ruangan tersebut tidak bisa ditempati oleh sembarang orang karena dikhususkan untuk pemuka adat. Lantai utama dibuat dari belahan bambu yang dianyam dengan rotan. Tingkatan selanjutnya disebut lantai biasa. Lantai biasa di ruang balik menalam, ruang tamu biasa, ruang gaho, dan pelamban.
Tebar layar, berfungsi sebagai dinding dan penutup ruang atas. Untuk menahan tempias air hujan, terdapat di ujung sebelah kiri dan kanan bagian atas bangunan. Bahan yang digunakan adalah papan.
Penteh, adalah tempat untuk menyimpan terletak di bagian atas bangunan.
Bagian rumah selanjutnya adalah pelamban, yaitu bagian rumah terdepan yang berada di ujung sebelah kiri. Pelamban merupakan bangunan tambahan/seperti teras. Menurut adat setempat, pelamban digunakan sebagai ruang tunggu bagi tamu yang belum dipersilahkan masuk.
Sebagai ruang panggung, rumah tinggal orang Batin mempunyai 2 macam tangga. Yang pertama adalah tangga utama, yaitu tangga yang terdapat di sebelah kanan pelamban. Yang kedua adalah tangga penteh, digunakan untuk naik ke penteh.
Sebagai suatu bangunan tempat tinggal, rumah lamo terdiri dari beberapa bagian, yaitu bubungan/atap, kasau bentuk, dinding, pintu/jendela, tiang, lantai, tebar layar, penteh, pelamban, dan tangga.
Bubungan/atap biasa juga disebut dengan ‘gajah mabuk,’ diambil dari nama pembuat rumah yang kala itu sedang mabuk cinta tetapi tidak mendapat restu dari orang tuanya. Bentuk bubungan disebut juga lipat kajang, atau potong jerambah. Atap dibuat dari mengkuang atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat dua. Dari samping, atap rumah lamo kelihatan berbentuk segi tiga. Bentuk atap seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah turunnya air bila hari hujan, mempermudah sirkulasi udara, dan menyimpan barang.
Kasau Bentuk adalah atap yang berada di ujung atas sebelah atas. Kasau bentuk berada di depan dan belakang rumah, bentuknya miring, berfungsi untuk mencegah air masuk bila hujan. Kasou bentuk dibuat sepanjang 60 cm dan selebar bubungan.
Dinding/masinding rumah lamo dibuat dari papan, sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang. Pintu tegak berada di ujung sebelah kiri bangunan, berfungsi sebagai pintu masuk. Pintu tegak dibuat rendah sehingga setiap orang yang masuk ke rumah harus menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada si empunya rumah. Pintu masinding berfungsi sebagai jendela, terletak di ruang tamu. Pintu ini dapat digunakan untuk melihat ke bawah, sebagai ventilasi terutama pada waktu berlangsung upacara adat, dan untuk mempermudah orang yang ada di bawah untuk mengetahui apakah upacara adat sudah dimulai atau belum. Pintu balik melintang adalah jendela terdapat pada tiang balik melintang. Pintu itu digunakan oleh pemuka-pemuka adat, alim ulama, ninik mamak, dan cerdik pandai.
Adapun jumlah tiang rumah lamo adalah 30 terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam, dengan panjang masing-masing 4,25 m. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang kerangka bangunan.
Lantai rumah adat dusun Lamo di Rantau Panjang, Jambi, dibuat bartingkat. Tingkatan pertama disebut lantai utama, yaitu lantai yang terdapat di ruang balik melintang. Dalam upacara adat, ruangan tersebut tidak bisa ditempati oleh sembarang orang karena dikhususkan untuk pemuka adat. Lantai utama dibuat dari belahan bambu yang dianyam dengan rotan. Tingkatan selanjutnya disebut lantai biasa. Lantai biasa di ruang balik menalam, ruang tamu biasa, ruang gaho, dan pelamban.
Tebar layar, berfungsi sebagai dinding dan penutup ruang atas. Untuk menahan tempias air hujan, terdapat di ujung sebelah kiri dan kanan bagian atas bangunan. Bahan yang digunakan adalah papan.
Penteh, adalah tempat untuk menyimpan terletak di bagian atas bangunan.
Bagian rumah selanjutnya adalah pelamban, yaitu bagian rumah terdepan yang berada di ujung sebelah kiri. Pelamban merupakan bangunan tambahan/seperti teras. Menurut adat setempat, pelamban digunakan sebagai ruang tunggu bagi tamu yang belum dipersilahkan masuk.
Sebagai ruang panggung, rumah tinggal orang Batin mempunyai 2 macam tangga. Yang pertama adalah tangga utama, yaitu tangga yang terdapat di sebelah kanan pelamban. Yang kedua adalah tangga penteh, digunakan untuk naik ke penteh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar